Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 36]
Sabtu, 10 Februari 2018

Bismillah.

Segala puji bagi Allah Rabb langit dan bumi. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah tersembunyi bagi kita betapa butuhnya kita untuk terus belajar dan memahami masalah tauhid. Sebab tauhid merupakan intisari dakwah semua nabi dan rasul. Tauhid inilah sumber datangnya kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan tauhid ini pula seorang akan bisa masuk ke dalam surga dengan rahmat dari-Nya.

Pada bagian-bagian terdahulu kita telah bersama-sama mempelajari bab-bab yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam Kitab Tauhid. Di awal kitab, penulis menjelaskan seputar hakikat dan kedudukan tauhid, keutamaan tauhid, keutamaan orang yang merealisasikan tauhid dengan sempurna, dan pembahasan rasa takut terhadap syirik.

Bab-bab ini menuntun kita secara bertahap untuk mengenal tauhid secara lebih mendalam. Kita telah mengenali bahwa tauhid merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia dan bahwa tauhid merupakan seruan setiap rasul kepada umatnya. Hakikat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik kepada-Nya. Seorang yang bertauhid harus berlepas diri dari segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. Seorang yang bertauhid harus melepaskan ketergantungan hatinya kepada selain Allah; sehingga ia akan bergantung dan bertawakal kepada Allah semata.

Menjaga tauhid dari segala hal yang merusak dan menghancurkannya bukanlah perkara sepele. Bahkan orang sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja takut dirinya terjerumus dalam syirik dan pemujaan berhala yang merajalela di tengah masyarakatnya. Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan syirik ashghar menimpa para sahabatnya. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar dan begitu samar merayap dan menggerogoti keimanan hamba.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, keimanan kita menuntut kita untuk mencintai apa-apa yang Allah cintai dan membenci apa-apa yang Allah benci. Oleh sebab itu cinta dan benci karena Allah menjadi sekuat-kuat simpul keimanan. Bukti kecintaan kita kepada tauhid maka kita akan berusaha menjaga tauhid itu dari segala hal yang merusaknya dan menyebarkannya kepada manusia. Karena sesungguhnya dengan dakwah tauhid inilah akan terwujud kebahagiaan bagi umat manusia.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Ushul Tsalatsah-nya telah berdalil dengan surat ini untuk menunjukkan wajibnya kita berdakwah mengajak manusia kepada agama Allah ini; yaitu dakwah tauhid. Beliau menarik kesimpulan bahwa ada empat kewajiban berdasarkan surat ini, yaitu ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Dengan ilmu dan amal seorang insan berusaha menyempurnakan dan memperbaiki keadaan dirinyai, kemudian dengan dakwah dan sabar seorang insan berusaha menyempurnakan dan memperbaiki keadaan masyarakatnya.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dengan dua hal yang pertama -iman dan amal salih, pent- maka seorang insan berusaha untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Dengan dua hal yang terakhir ini -saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran, pent- maka seorang menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat hal ini seorang insan akan selamat dari kerugian dan akan meraih keberuntungan yang sangat besar.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 934)

Saling menasihati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat dan kebodohan yang bertebaran sedangkan saling menasihati dalam kesabaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syahwat dan hawa nafsu yang menyesatkan.

Dari sinilah kita mengetahui letak pentingnya dakwah tauhid. Sebab bagaimana mungkin seorang yang merealisasikan tauhid dan takut terjerumus dalam syirik kemudian hanya tinggal diam melihat kondisi masyarakatnya yang diliputi dengan penyimpangan dan marabahaya. Kalau lah ternyata masyarakat yang ada sudah mengenal tauhid lantas siapa yang bisa menjamin bahwa tauhid ini tidak akan tergerus oleh gelombang fitnah yang datang bertubi-tubi dan merusak hati? Siapa pula yang bisa menjamin bahwa tauhid yang ada padanya bisa bertahan sampai mati?

Karena itulah Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam Kitab Tauhid ini membawakan bab selanjutnya mengenai dakwah kepada syahadat laa ilaha illallah atau bisa kita ringkas dengan istilah dakwah tauhid. Hal ini cukup penting untuk kita tekankan bahwa dakwah Islam ini harus dimulai dengan perkara yang paling mendasar yaitu memahamkan kaum muslimin tentang makna dan konsekuensi kalimat syahadat yang telah mereka ucapkan setiap harinya.

Bagaimana mungkin kita membahas panjang lebar seputar perkara ini dan itu, masalah anu dan anu sementara masalah yang paling prinsip yaitu mengenai makna dan konskuensi syahadat saja banyak diantara kaum muslimin sendiri yang masih belum memahaminya? Apakah kita merasa lebih pandai daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan Mu’adz bin Jabal untuk mengawali dakwahnya dengan seruan terhadap kalimat laa ilaha illallah? Apakah kita merasa lebih pandai dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika ditanya oleh Jibril tentang Islam maka yang pertama kali beliau sebutkan adalah syahadat laa ilaha illallah?

Bertahun-tahun Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekah dengan seruan kalimat tauhid dan menghadapi penolakan keras dari kaumnya. Tidak lain dan tidak bukan karena mereka memahami makna dan konsekuensi kalimat tauhid itu yaitu kewajiban meninggalkan segala bentuk sesembahan selain Allah. Dengan tauhid inilah manusia akan mengenali hak Allah kepada dirinya dan kewajiban dirinya kepada Rabbnya. Sebab tauhid inilah keadilan yang paling adil dan sebab datangnya keamanan dan petunjuk. Maka meninggalkan dakwah tauhid atau menyepelekan dakwah tauhid merupakan musibah besar yang melanda umat manusia, lebih besar dan lebih mengerikan daripada musibah berupa kekeringan, paceklik, atau pun letusan gunung api dan banjir!

Betapa banyak manusia yang berjalan dan hidup secara jasmani tetapi mati hati nuraninya karena terbelenggu oleh penghambaan kepada selain Allah. Betapa besar kebutuhan manusia kepada tauhid ini lebih daripada kebutuhan mereka kepada air, udara, atau cahaya matahari.

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)

Tidaklah diragukan bahwasanya tauhid merupakan cahaya yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Adapun syirik adalah kegelapan-kegelapan yang sebagiannya lebih pekat daripada sebagian yang lain; yang hal itu dijadikan tampak indah bagi orang-orang kafir. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang sudah mati -hatinya- lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk bisa berjalan diantara manusia sama keadaannya dengan orang seperti dirinya yang tetap terjebak di dalam kegelapan-kegelapan dan tidak bisa keluar darinya. Demikianlah dijadikan indah bagi orang-orang kafir itu apa yang mereka lakukan.” (al-An’aam: 122) (lihat Nur at-Tauhid wa Zhulumat asy-Syirki, oleh Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani hafizhahullah, hal. 4) 

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Mekah selama tiga belas tahun setelah diutusnya beliau -sebagai rasul- dan beliau menyeru manusia untuk meluruskan aqidah dengan beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada patung sebelum beliau memerintahkan manusia menunaikan sholat, zakat, puasa, haji, dan jihad, serta sebelum memerintahkan mereka meninggalkan hal-hal yang diharamkan semacam riba, zina, khamr, dan judi.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 20-21)

Syaikh Khalid bin Abdurrahman hafizhahullah berkata, “Perkara yang pertama kali diperintahkan kepada [Nabi] al-Mushthofa shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu untuk memberikan peringatan dari syirik. Padahal, kaum musyrikin kala itu juga berlumuran dengan perbuatan zina, meminum khamr, kezaliman dan berbagai bentuk pelanggaran. Meskipun demikian, beliau memulai dakwahnya dengan ajakan kepada tauhid dan peringatan dari syirik. Beliau terus melakukan hal itu selama 13 tahun. Sampai-sampai sholat yang sedemikian agung pun tidak diwajibkan kecuali setelah 10 tahun beliau diutus. Hal ini menjelaskan tentang urgensi tauhid dan kewajiban memberikan perhatian besar terhadapnya. Ia merupakan perkara terpenting dan paling utama yang diperhatikan oleh seluruh nabi dan rasul…” (lihat ta’liq beliau dalam Mukhtashar Sirati an-Nabi, hal. 59-60)

Semata-mata tegaknya pemerintahan Islam tidak bisa memperbaiki akidah umat manusia. Realita adalah sebaik-baik bukti atasnya. Di sana ada sebagian negara pada masa kini yang membanggakan diri tegak sebagai negara Islam. Akan tetapi ternyata akidah para penduduk negeri tersebut adalah akidah pemujaan berhala yang sarat dengan khurafat dan dongeng belaka. Hal itu disebabkan mereka telah menyelisihi petunjuk para nabi dan rasul dalam berdakwah menuju Allah (lihat asy-Syirk fil Qadim wal Hadits [1/80] oleh Abu Bakr Muhammad Zakariya)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan syari’at, penegakan hudud, tegaknya daulah islamiyah, menjauhi hal-hal yang diharamkan serta melakukan kewajiban-kewajiban [syari’at] ini semua adalah hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Sedangkan ia merupakan cabang dari tauhid. Bagaimana mungkin lebih memperhatikan cabangnya sementara pokoknya justru diabaikan?” (lihat kitab Manhaj al-Anbiya’ fi ad-Da’wah ila Allah, fiihil Hikmah wal ‘Aql oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah hal. 11)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (al-Anfal: 24)

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanya bisa digapai dengan merespon seruan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang tidak merespon seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun dia memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dirinya dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka hidup. Oleh karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang kehilangan sebagian darinya maka dia kehilangan sebagian unsur kehidupan, bisa jadi di dalam dirinya masih terdapat kehidupan sekadar dengan responnya terhadap ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-‘Aqidah) 

Karena pentingnya aqidah inilah Allah utus para rasul untuk menyeru manusia agar beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut. Setiap rasul berkata (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah saja. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raaf : 59). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 10 tahun di Mekah pun mengokohkan tauhid, mendakwahkannya, memerangi syirik dan memperingatkan umat darinya. Setelah itu sepanjang hayatnya beliau berusaha meneguhkan dan mengokohkan aqidah tauhid dan menerangkan hukum-hukum syari’at. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan dan memprioritaskan perkara aqidah dalam belajar, mengajar, beramal, dan berdakwah (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 42)

Jalan Nabi dan Pengikutnya

Kemudian, di awal bab ini Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan firman Allah yang menunjukkan kewajiban untuk menegakkan dakwah tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan maha suci Allah, aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Yusuf: 108).

Ayat yang mulia ini mengisyaratkan bahwasanya orang yang paling sempurna dalam ittiba’ adalah yang paling sempurna dalam berdakwah (lihat ad-Durar al-Ghaliyah fi Adab ad-Da’wah wa ad-Da’iyah oleh Syaikh Abdul Hamid bin Badis rahimahullah, hal. 18). Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menerangkan kepada kita bahwasanya jalan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangun di atas tiga perkara: Pertama; Mengajak kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Kedua; Menyucikan Allah ta’ala -dari segenap celaan dan kekurangan-, ketiga; Berlepas diri dari orang-orang musyrik (lihat ad-Durar al-Ghaliyah, hal. 8)

Dari ayat ini kita juga bisa memetik pelajaran hendaknya seorang da’i mengingat, bahwasanya dakwah yang dilakukannya adalah untuk mengajak manusia kepada Allah, yaitu: mengajak manusia kepada agama-Nya, agar mereka mentauhidkan-Nya, dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam surga-Nya. Sehingga seorang da’i harus ikhlas dalam berdakwah (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi rahimahullah, hal. 50). Dakwah yang diserukannya bukanlah dalam rangka meraih target kekuasaan, ambisi tertentu, harta, ataupun urusan dunia lainnya. Akan tetapi dakwahnya bertujuan mengajak manusia mentauhidkan Allah dan mengikuti syari’at-Nya (Syarh Kitab at-Tauhid, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 42)

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan anugerah kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), padahal sebelumnya mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang sangat nyata.” (Ali ‘Imran : 164). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/158)

Para ulama juga menjelaskan, bahwasanya perkara yang ma’ruf itu mencakup segala bentuk ketaatan, dan ketaatan yang paling agung adalah dengan beribadah kepada Allah semata dan memurnikan ibadah untuk-Nya serta meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Kemudian setelah itu dikuti segala amal yang wajib dan mustahab. Adapun perkara mungkar meliputi segala sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya seperti maksiat, bid’ah, dsb. Dan kemungkaran yang paling besar ialah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 62)

Demikian sedikit catatan yang bisa disajikan, semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan berama salih.

# Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-36/